Liga Italia sudah tidak menarik, katanya. Liga yang terlambat untuk
melakukan regenerasi dan dipenuhi oleh pertandingan-pertandingan
bertempo lambat yang dilakukan oleh pemain-pemain tua.
Apalagi
jika dikaitkan dengan prihal transfer. Alih-alih mengimpor pemain-pemain
bintang seperti era 1990-an, Seri A malah ditinggalkan banyak pemain
bintangnya. Zlatan, Veratti, dan Lavezzi sudah ditarik oleh PSG,
sementara Sanchez diambil oleh Barcelona. Bahkan pemain sekelas Sneijder
pun kini berlabuh di negara Turki, lepas dari tangan Massimo Moratti
sang pemilik Inter Milan. Maka ketika pemain yang sudah lewat dari masa
keemasannya, seperti Dimitar Berbatov, lebih memilih bermain untuk
Fulham ketimbang Fiorentina atau Juventus, tak banyak orang yang
keheranan. Ya, liga ini memang sudah tak lagi menarik perhatian dunia.
Namun,
di balik meredupnya lampu sorot yang menyinari liga ini, ada satu hal
yang konstan dilakukan oleh Seri A: regenerasi pelatih. Sementara
Manchester United dan Arsenal masih mengandalkan Alex Ferguson dan
Arsene Wenger, dan Bayern Munich berpaling pada Pep Guardiola, baik
Juventus, Inter Milan, AC Milan, Fiorentina dan banyak klub lainnya
sudah berani mempercayakan kursi kepelatihan pada generasi baru.
Lewat
bukunya, “The Italian Job”, Gianluca Vialli sempat menjelaskan masalah
regenerasi ini. Berbeda dengan Inggris, mereka yang menjadi pelatih di
Italia memang memiliki cakupan tugas lebih sempit. Dengan adanya posisi
sporting director, mereka tak mengurusi kesinambungan tim, kebijakan
pemain muda, atau tetek bengek masalah transfer.
Karena itu tak
heran jika banyak pemilik klub dengan mudah memecat para allenatore. Dan
tak aneh pula jika di pertengahan musim lalu saja ada 10 klub yang
sudah mendapatkan pelatih baru. Mengganti pelatih dianggap memiliki
risiko rendah karena tidak mengganggu kontinuitas perkembangan klub.
Di
satu sisi, hal ini terdengar janggal. Namun, dengan kondisi seperti ini
lah Seri A, selain karena memiliki Coverciano, mendapatkan banyak
pelatih-pelatih baru. Dengan ancaman mudah untuk dipecat dan diganti,
para pelatih Seri A harus terbiasa bekerja di bawah tekanan untuk
mengantarkan hasil maksimal. Tak ada waktu untuk bereksplorasi dan tak
ada ruang untuk bersembunyi di balik kurangnya pengalaman melatih, atau
usia yang masih muda. Seri A bagaikan kawah candradimuka untuk
mereka-mereka yang ingin menguasai seni melatih sepak bola.
Tapi
perputaran yang tinggi dalam hal kepelatihan juga berarti klub-klub
besar yang membukakan jalan untuk para pelatih muda, walau dengan
pengalaman ‘hanya’ dari klub kecil. Milan memberikan kesempatan bagi
Allegri untuk lompat dari Cagliari, sementara Montella mendapatkan
pengalamannya di Catania sebelum melatih Fiorentina. Tak ada kata malu
bagi klub-klub besar ini untuk merekrut pelatih dari klub papan bawah,
atau bahkan dari Seri B.
Hal ini lah, terutama, yang membedakan
Seri A dan Liga Inggris. Hegemoni Ferguson dan Wenger di MU dan Arsenal,
serta Abramovich yang cenderung mengikat pelatih berpengalaman,
menjadikan pelatih muda Inggris minim pengalaman di level tertinggi.
Baru-baru ini saja lah pelatih muda seperti Brendan Rodgers atau Andres
Villas Boas (dengan catatan sudah membawa Porto juara) mendapatkan
tempat di klub sekelas Liverpool atau Tottenham Hotspur.
Di
antara pelatih-pelatih muda yang kini menukangi klub-klub Seri A,
Antonio Conte dan Andrea Stramaccioni jadi dua nama yang akhir-akhir ini
sering diperbincangkan publik Italia, walau dengan nada yang berbeda.
Conte
lagi-lagi membuktikan kehandalannya dalam melatih dengan memantapkan
posisi Juventus di puncak klasemen, sementara Staramaccioni baru saja
menempuh masa-masa kritis dengan Inter Milan.
Jika Sporting
Director Juventus, Fabio Paratici, tak bisa membayangkan Juventus tanpa
Conte, nasib berbeda harus dialami Stramaccioni. Dengan mudahnya Moratti
bergurau lewat telepon pada Strama bahwa ia sedang berbicara dengan
Mircea Lucescu (pelatih Shakhtar Donetsk yang digadang-gadang
menggantikan Strama). Walau Stramaccioni berkilah bahwa gurauan ini
menunjukkan kedekatannya dengan Moratti, makna tersiratnya bisa
ditangkap oleh banyak orang: “segera berbenah, atau bersiap-siaplah
untuk diganti”.
Antonio Conte
Jika
Gianluigi Buffon dan Andera Pirlo pernah mengatakan bahwa Antonio Conte
adalah pelatih terbaik yang mereka punya, maka tentu pujian ini bukan
main-main. Baik Buffon maupun Pirlo membawa titel juara dunia di bawah
Marcello Lippi, dan Pirlo pernah dapat 2 kali gelar Liga Champion dengan
Ancelotti. Buffon bahkan pernah dilatih oleh salah seorang pelatih
terbaik Italia sepanjang masa, Fabio Capello.
Menurut Pirlo
sendiri, kelebihan Conte adalah pada ketelitiannya dalam mempersiapkan
pertandingan dan pada caranya menyampaikan sesuatu sehingga keinginannya
sampai pada para pemain Juventus. Sebelum pertandingan, ia biasa
menyaksikan video lawan-lawannya untuk mencatat kelebihan dan kekurangan
mereka. Conte pun bahkan mengatur makanan apa yang jadi asupan timnya
sebelum pertandingan.
Di bawah Conte, Juventus sendiri lebih
memfokuskan pada passing-passing pendek dan pergerakan tim. Ia ingin
melihat Juvetus yang fasih melakukan possession football dan mampu untuk
membangun serangan dari lini belakang. Conte juga membentuk timnya agar
tetap memainkan bola-bola mendatar. Kemampuan teknikal yang baik dalam
mengolah bola ia satukan dengan kekuatan fisik dan kecepatan dalam
menghalau serangan lawan.
Selain itu, lini belakang Juventus pun
acap kali mengundang lawan-lawannya dalam bertahan. Ini dimaksudkan agar
lini depan memiliki ruang yang dapat dieksploitasi saat melakukan
serangan balik.
Dalam situasi bahaya, atau saat lawan masih
melakukan tekanan di areal bertahan Juventus, Conte pun tetap meminta
ketiga center-back untuk secara tenang menggiring bola ke areal tengah
lapangan. Pirlo, Vidal, atau Marchisio kemudian dengan hanya satu-dua
sentuhan mengirimkan bola kepada pemain sayap, yang dengan kecepatannya
akan mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan lawan.
Namun, di
balik semua itu, salah satu kelebihan Conte lainnya adalah kemampuannya
meningkatkan mental pemain Juventus. Sebagai pemain dan mantan kapten,
Conte sendiri memang dikenal karena mentalitasnya yang tak mau kalah.
Bahkan, sebagai bahan ‘tugas akhir’-nya di Coverciano, Conte menuliskan
tentang metodologi psikologis sebagai pelatih.
Tak heran di
bawah asuhannya, Juventus menjadi tim yang padu dan seakan tak (mau)
mengenal kata kalah. Hal ini juga diakui oleh Buffon sekembalinya Conte
ke pinggir lapangan setelah terkena sanksi larangan 4 bulan.
Menurutnya,
walau Massimo Carera dan Angelo Alessio mampu memberikan instruksi
dengan baik, mereka tak mampu menggantikan kehadiran Conte. “Adanya
Conte di ruang ganti menjadikan kami tak mungkin untuk bermain dengan
tidak fokus,” ujar kiper berusia 35 tahun tersebut.
Andrea Stramaccioni
Berbeda
dengan Conte yang mendapatkan pengalaman dari melatih tim-tim kecil,
Stramaccioni memiliki jalur kepelatihan berbeda. Di usianya yang masih
37 tahun, ia sudah dipercaya untuk menukangi Inter Milan berkat
prestasinya bersama tim muda Inter menjuarai Next Gen Series. Bahwa
Stramaccioni belum memiliki pengalaman baik bersama tim Seri A maupun
Seri B, jadi risiko yang diambil oleh Moratti.
Walau kini
terlihat sedang terpuruk dan kehilangan status “special two”-nya,
sebenarnya prestasi Stramaccioni bisa dibilang tidak buruk-buruk amat.
Pada 26 Maret lalu ia tepat setahun menjadi pelatih Inter Milan,
menjadikannya pelatih ketiga terlama di Inter semenjak 2004 (setelah
Roberto Mancini dan Jose Mourinho). Bermain untuk Massimo Moratti dan
Inter memiliki tantangan tersendiri sehingga sulit untuk membandingkan
prestasinya vis-à-vis dengan Conte.
Contohnya saja masalah
Wesley Sneijder. Meski dulu memiliki pemain berbakat asal Belanda ini
ditangannya, Strama sendiri tak leluasa untuk memainkannya. Proses
negosiasi kontrak antara Sneijder dan Inter Milan membuat Strama acap
kali harus mengeluarkan Sneijder dari tim.
Terlepas dari
tetek-bengek di luar lapangan, rekor Stramaccioni dengan Inter sendiri
tergolong lumayan. Selama satu tahun ia telah menangani 54 pertandingan
Inter Milan, dengan catatan 29 kali menang, 10 imbang, dan 15 kali
kalah. Nilai yang sebenarnya cukup baik mengingat ia tak berpengalaman
sama sekali melatih tim di Seri A.
Sama seperti Conte, Strama
sendiri terkenal karena detail dalam mempersiapkan pertandingan. Bahkan,
bisa dibilang terlampau detail. Salah satu kritik yang sering ditujukan
padanya adalah tim yang ia bentuk tak memiliki identitas karena
terlampau sering berganti formasi. Memang, Strama sendiri berulang kali
mengganti strategi Inter tergantung siapa lawan yang dihadapi.
Namun
kritik yang sekarang ia hadapi pernah jadi pujian untuknya. Hingga
bulan November, atau hingga ia mengalahkan Juventus, kemampuannya untuk
menggonta-ganti taktik sering dianggap salah satu kehebatannya dalam
melatih. Bahwa kini ciri khasnya melatih kini dipertanyakan, tentu
memerlukan satu perspektif tersendiri untuk menjawabnya.
Derby D’Italia
Malam
ini, Conte dan Stramaccioni akan dipertemukan dalam salah satu derbi
terpanas, yaitu Derby d’Italia. Di pertemuan sebelumnya, Stramaccioni
sendiri jadi pelatih pertama yang berhasil mengalahkan Juventus di
kandangnya sendiri, dan mengakhiri 49 pertandingan tanpa terkalahkan
Juventus.
Saat itu Inter berada di posisi kedua, sedang
mengintai Juventus, dan dianggap mampu memberikan persaingan ketat dalam
perebutan scudetto. Strama pun kemudian dinobatkan sebagai
“The Special Two” dan dianggap sebagai salah satu pelatih paling
berbakat di Italia. Tapi apa lacur. Setelah Derby d’Italia, prestasi
Inter justru semakin merosot. Mereka pun kini duduk di posisi 7 klasemen
sementara, terpaut 18 angka dari Juventus.
Sebagaimana pertemuan pertama, Derby d’Italia malam
ini tentu jadi ajang perebutan gengsi bagi kedua pelatih muda ini.
Stramaccioni akan coba mengulangi kesuksesannya dalam mengalahkan
Juventus, dan membuktikan bahwa ia tak kalah dengan Conte. Sementara
Conte pun ingin membalaskan dendam karena rekor tak terkalahkan Juventus
dipatahkan oleh Stramaccioni.
“Derbi adalah sepak bola itu
sendiri: kenangan tentangnya, emosi yang ditimbulkan, kebahagiaan,
kesedihan, bahkan perasaan putus asa. Derbi adalah tentang itu semua,”
ujar Massimo Moratti mengenai Derby d’Italia. Pelatih mana yang akan
mendapatkan kebahagiaan dan pelatih mana keputus asaan hanya akan
terjawab malam ini dalam laga di Giuseppe Meazza, Sabtu (30/3/2013)
malam WIB. Patut ditunggu
sumber : http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/03/30/144436/2207286/1480/derby-ditalia-adu-gengsi-dua-allenatore-muda?b99220170
Tidak ada komentar:
Posting Komentar