Sabtu, 30 Maret 2013

Derby d'Italia: Adu Gengsi Dua Allenatore Muda

Liga Italia sudah tidak menarik, katanya. Liga yang terlambat untuk melakukan regenerasi dan dipenuhi oleh pertandingan-pertandingan bertempo lambat yang dilakukan oleh pemain-pemain tua.

Apalagi jika dikaitkan dengan prihal transfer. Alih-alih mengimpor pemain-pemain bintang seperti era 1990-an, Seri A malah ditinggalkan banyak pemain bintangnya. Zlatan, Veratti, dan Lavezzi sudah ditarik oleh PSG, sementara Sanchez diambil oleh Barcelona. Bahkan pemain sekelas Sneijder pun kini berlabuh di negara Turki, lepas dari tangan Massimo Moratti sang pemilik Inter Milan. Maka ketika pemain yang sudah lewat dari masa keemasannya, seperti Dimitar Berbatov, lebih memilih bermain untuk Fulham ketimbang Fiorentina atau Juventus, tak banyak orang yang keheranan. Ya, liga ini memang sudah tak lagi menarik perhatian dunia.

Namun, di balik meredupnya lampu sorot yang menyinari liga ini, ada satu hal yang konstan dilakukan oleh Seri A: regenerasi pelatih. Sementara Manchester United dan Arsenal masih mengandalkan Alex Ferguson dan Arsene Wenger, dan Bayern Munich berpaling pada Pep Guardiola, baik Juventus, Inter Milan, AC Milan, Fiorentina dan banyak klub lainnya sudah berani mempercayakan kursi kepelatihan pada generasi baru.

Lewat bukunya, “The Italian Job”, Gianluca Vialli sempat menjelaskan masalah regenerasi ini. Berbeda dengan Inggris, mereka yang menjadi pelatih di Italia memang memiliki cakupan tugas lebih sempit. Dengan adanya posisi sporting director, mereka tak mengurusi kesinambungan tim, kebijakan pemain muda, atau tetek bengek masalah transfer.

Karena itu tak heran jika banyak pemilik klub dengan mudah memecat para allenatore. Dan tak aneh pula jika di pertengahan musim lalu saja ada 10 klub yang sudah mendapatkan pelatih baru. Mengganti pelatih dianggap memiliki risiko rendah karena tidak mengganggu kontinuitas perkembangan klub.

Di satu sisi, hal ini terdengar janggal. Namun, dengan kondisi seperti ini lah Seri A, selain karena memiliki Coverciano, mendapatkan banyak pelatih-pelatih baru. Dengan ancaman mudah untuk dipecat dan diganti, para pelatih Seri A harus terbiasa bekerja di bawah tekanan untuk mengantarkan hasil maksimal. Tak ada waktu untuk bereksplorasi dan tak ada ruang untuk bersembunyi di balik kurangnya pengalaman melatih, atau usia yang masih muda. Seri A bagaikan kawah candradimuka untuk mereka-mereka yang ingin menguasai seni melatih sepak bola.

Tapi perputaran yang tinggi dalam hal kepelatihan juga berarti klub-klub besar yang membukakan jalan untuk para pelatih muda, walau dengan pengalaman ‘hanya’ dari klub kecil. Milan memberikan kesempatan bagi Allegri untuk lompat dari Cagliari, sementara Montella mendapatkan pengalamannya di Catania sebelum melatih Fiorentina. Tak ada kata malu bagi klub-klub besar ini untuk merekrut pelatih dari klub papan bawah, atau bahkan dari Seri B.

Hal ini lah, terutama, yang membedakan Seri A dan Liga Inggris. Hegemoni Ferguson dan Wenger di MU dan Arsenal, serta Abramovich yang cenderung mengikat pelatih berpengalaman, menjadikan pelatih muda Inggris minim pengalaman di level tertinggi. Baru-baru ini saja lah pelatih muda seperti Brendan Rodgers atau Andres Villas Boas (dengan catatan sudah membawa Porto juara) mendapatkan tempat di klub sekelas Liverpool atau Tottenham Hotspur.

Di antara pelatih-pelatih muda yang kini menukangi klub-klub Seri A, Antonio Conte dan Andrea Stramaccioni jadi dua nama yang akhir-akhir ini sering diperbincangkan publik Italia, walau dengan nada yang berbeda.

Conte lagi-lagi membuktikan kehandalannya dalam melatih dengan memantapkan posisi Juventus di puncak klasemen, sementara Staramaccioni baru saja menempuh masa-masa kritis dengan Inter Milan.

Jika Sporting Director Juventus, Fabio Paratici, tak bisa membayangkan Juventus tanpa Conte, nasib berbeda harus dialami Stramaccioni. Dengan mudahnya Moratti bergurau lewat telepon pada Strama bahwa ia sedang berbicara dengan Mircea Lucescu (pelatih Shakhtar Donetsk yang digadang-gadang menggantikan Strama). Walau Stramaccioni berkilah bahwa gurauan ini menunjukkan kedekatannya dengan Moratti, makna tersiratnya bisa ditangkap oleh banyak orang: “segera berbenah, atau bersiap-siaplah untuk diganti”.

Antonio Conte

Jika Gianluigi Buffon dan Andera Pirlo pernah mengatakan bahwa Antonio Conte adalah pelatih terbaik yang mereka punya, maka tentu pujian ini bukan main-main. Baik Buffon maupun Pirlo membawa titel juara dunia di bawah Marcello Lippi, dan Pirlo pernah dapat 2 kali gelar Liga Champion dengan Ancelotti. Buffon bahkan pernah dilatih oleh salah seorang pelatih terbaik Italia sepanjang masa, Fabio Capello.

Menurut Pirlo sendiri, kelebihan Conte adalah pada ketelitiannya dalam mempersiapkan pertandingan dan pada caranya menyampaikan sesuatu sehingga keinginannya sampai pada para pemain Juventus. Sebelum pertandingan, ia biasa menyaksikan video lawan-lawannya untuk mencatat kelebihan dan kekurangan mereka. Conte pun bahkan mengatur makanan apa yang jadi asupan timnya sebelum pertandingan.

Di bawah Conte, Juventus sendiri lebih memfokuskan pada passing-passing pendek dan pergerakan tim. Ia ingin melihat Juvetus yang fasih melakukan possession football dan mampu untuk membangun serangan dari lini belakang. Conte juga membentuk timnya agar tetap memainkan bola-bola mendatar. Kemampuan teknikal yang baik dalam mengolah bola ia satukan dengan kekuatan fisik dan kecepatan dalam menghalau serangan lawan.

Selain itu, lini belakang Juventus pun acap kali mengundang lawan-lawannya dalam bertahan. Ini dimaksudkan agar lini depan memiliki ruang yang dapat dieksploitasi saat melakukan serangan balik.

Dalam situasi bahaya, atau saat lawan masih melakukan tekanan di areal bertahan Juventus, Conte pun tetap meminta ketiga center-back untuk secara tenang menggiring bola ke areal tengah lapangan. Pirlo, Vidal, atau Marchisio kemudian dengan hanya satu-dua sentuhan mengirimkan bola kepada pemain sayap, yang dengan kecepatannya akan mengisi ruang-ruang yang ditinggalkan lawan.

Namun, di balik semua itu, salah satu kelebihan Conte lainnya adalah kemampuannya meningkatkan mental pemain Juventus. Sebagai pemain dan mantan kapten, Conte sendiri memang dikenal karena mentalitasnya yang tak mau kalah. Bahkan, sebagai bahan ‘tugas akhir’-nya di Coverciano, Conte menuliskan tentang metodologi psikologis sebagai pelatih.

Tak heran di bawah asuhannya, Juventus menjadi tim yang padu dan seakan tak (mau) mengenal kata kalah. Hal ini juga diakui oleh Buffon sekembalinya Conte ke pinggir lapangan setelah terkena sanksi larangan 4 bulan.

Menurutnya, walau Massimo Carera dan Angelo Alessio mampu memberikan instruksi dengan baik, mereka tak mampu menggantikan kehadiran Conte. “Adanya Conte di ruang ganti menjadikan kami tak mungkin untuk bermain dengan tidak fokus,” ujar kiper berusia 35 tahun tersebut.

Andrea Stramaccioni

Berbeda dengan Conte yang mendapatkan pengalaman dari melatih tim-tim kecil, Stramaccioni memiliki jalur kepelatihan berbeda. Di usianya yang masih 37 tahun, ia sudah dipercaya untuk menukangi Inter Milan berkat prestasinya bersama tim muda Inter menjuarai Next Gen Series. Bahwa Stramaccioni belum memiliki pengalaman baik bersama tim Seri A maupun Seri B, jadi risiko yang diambil oleh Moratti.

Walau kini terlihat sedang terpuruk dan kehilangan status “special two”-nya, sebenarnya prestasi Stramaccioni bisa dibilang tidak buruk-buruk amat. Pada 26 Maret lalu ia tepat setahun menjadi pelatih Inter Milan, menjadikannya pelatih ketiga terlama di Inter semenjak 2004 (setelah Roberto Mancini dan Jose Mourinho). Bermain untuk Massimo Moratti dan Inter memiliki tantangan tersendiri sehingga sulit untuk membandingkan prestasinya vis-à-vis dengan Conte.

Contohnya saja masalah Wesley Sneijder. Meski dulu memiliki pemain berbakat asal Belanda ini ditangannya, Strama sendiri tak leluasa untuk memainkannya. Proses negosiasi kontrak antara Sneijder dan Inter Milan membuat Strama acap kali harus mengeluarkan Sneijder dari tim.

Terlepas dari tetek-bengek di luar lapangan, rekor Stramaccioni dengan Inter sendiri tergolong lumayan. Selama satu tahun ia telah menangani 54 pertandingan Inter Milan, dengan catatan 29 kali menang, 10 imbang, dan 15 kali kalah. Nilai yang sebenarnya cukup baik mengingat ia tak berpengalaman sama sekali melatih tim di Seri A.

Sama seperti Conte, Strama sendiri terkenal karena detail dalam mempersiapkan pertandingan. Bahkan, bisa dibilang terlampau detail. Salah satu kritik yang sering ditujukan padanya adalah tim yang ia bentuk tak memiliki identitas karena terlampau sering berganti formasi. Memang, Strama sendiri berulang kali mengganti strategi Inter tergantung siapa lawan yang dihadapi.

Namun kritik yang sekarang ia hadapi pernah jadi pujian untuknya. Hingga bulan November, atau hingga ia mengalahkan Juventus, kemampuannya untuk menggonta-ganti taktik sering dianggap salah satu kehebatannya dalam melatih. Bahwa kini ciri khasnya melatih kini dipertanyakan, tentu memerlukan satu perspektif tersendiri untuk menjawabnya.

Derby D’Italia

Malam ini, Conte dan Stramaccioni akan dipertemukan dalam salah satu derbi terpanas, yaitu Derby d’Italia. Di pertemuan sebelumnya, Stramaccioni sendiri jadi pelatih pertama yang berhasil mengalahkan Juventus di kandangnya sendiri, dan mengakhiri 49 pertandingan tanpa terkalahkan Juventus.

Saat itu Inter berada di posisi kedua, sedang mengintai Juventus, dan dianggap mampu memberikan persaingan ketat dalam perebutan scudetto. Strama pun kemudian dinobatkan sebagai “The Special Two” dan dianggap sebagai salah satu pelatih paling berbakat di Italia. Tapi apa lacur. Setelah Derby d’Italia, prestasi Inter justru semakin merosot. Mereka pun kini duduk di posisi 7 klasemen sementara, terpaut 18 angka dari Juventus.

Sebagaimana pertemuan pertama, Derby d’Italia malam ini tentu jadi ajang perebutan gengsi bagi kedua pelatih muda ini. Stramaccioni akan coba mengulangi kesuksesannya dalam mengalahkan Juventus, dan membuktikan bahwa ia tak kalah dengan Conte. Sementara Conte pun ingin membalaskan dendam karena rekor tak terkalahkan Juventus dipatahkan oleh Stramaccioni.

“Derbi adalah sepak bola itu sendiri: kenangan tentangnya, emosi yang ditimbulkan, kebahagiaan, kesedihan, bahkan perasaan putus asa. Derbi adalah tentang itu semua,” ujar Massimo Moratti mengenai Derby d’Italia. Pelatih mana yang akan mendapatkan kebahagiaan dan pelatih mana keputus asaan hanya akan terjawab malam ini dalam laga di Giuseppe Meazza, Sabtu (30/3/2013) malam WIB. Patut ditunggu

sumber : http://sport.detik.com/aboutthegame/read/2013/03/30/144436/2207286/1480/derby-ditalia-adu-gengsi-dua-allenatore-muda?b99220170

Tidak ada komentar:

Posting Komentar