Masalah
yang akan dibahas di sini dalam literatur etika bisnis di Amerika Serikat
dikenal sebagai Corporation Social
Responsibility atau Social Responsibility of Corporatoin.
Corporation atau korporasi, sebagaimana sudah dipakai dalam bangsa Indonesia,
langsung dimengerti sebagai perusahaan, khususnya perusahaan besar. Tetapi
sebenernya artinya adalah lebih luas, yakni badan hukum. “Korporasi” berasal
dari bahasa latin (Corpus/Corpora =
badan) dan sebetulnya berarti “yang dijadikan suatu badan” ( bandingkan : Incorporate ). Jika kita menelusuri
perkembangan istilah ini, pada mulanya “korporasi” justru tidak menunjukan
organisasi mencari untung. Istilah yang berasal dari hukum kekaisaran Roma ini,
pada zaman pra-moderen di eropa masih secara ekslusif dipakai untuk menunjukan
badan hukum yang didirikan demi kepentingan umum.
Hal yang
sama pada mulanya berlaku juga di Amerika Serikat. Bahwa kini korporasi secara
spontan dimengerti sebagai perusahaan, merupakan salah satu di antara sekian
banyak bukti lain yang menunjukan betapa pentingnya peranan bisnis dalam
masyrakat kita. Bagaimana pun perkembangan istilah “korporasi” masih tetap
berarti “badan hukum”. Dalam situasi kita sekarang, perbedaan yang paling mencolok
adalah antara badan hukum forprofit dan badan hukum non forprofit.
CSR
memiliki tiga elemen kunci (Aswak dkk, 2011:85) :
- CSR adalah komitmen, kontribusi, cara pengolahan bisnis dan pengambilan keputusan pada perusahaan.
- Komitmen, kontribusi, pengelolaan bisnis dan pengambilan keputusan perusahaan didasarkan pada akuntabilitas, mempertimbangkan aspek sosial dan lingkungan, memenuhi tuntutan etis, legal dan profesional.
- Perusahaan memberikan dampak nyata pada pemangku kepentingan dan secara khusus pada masyarakat sekitar.
CSR akan lebih berdampak positif bagi
masyarakat; ini akan sangat tergantung dari orientasi dan kapasitas lembaga dan
organisasi lain, terutama pemerintah. Studi Bank Dunia (Howard Fox, 2002)
menunjukkan, peran pemerintah yang terkait dengan CSRmeliputi pengembangan
kebijakan yang menyehatkan pasar, keikutsertaan sumber daya, dukungan politik
bagi pelaku CSR, menciptakan insentif dan peningkatan kemampuan
organisasi. Untuk Indonesia, bisa dibayangkan, pelaksanaan CSR membutuhkan
dukungan pemerintah daerah, kepastian hukum, dan jaminan ketertiban sosial.
Pemerintah dapat mengambil peran penting tanpa harus melakukan regulasi di
tengah situasi hukum dan politik saat ini. Di tengah persoalan kemiskinan dan
keterbelakangan yang dialami Indonesia, pemerintah harus berperan sebagai
koordinator penanganan krisis melalui CSR (Corporate Social
Responsibilty). Pemerintah bisa menetapkan bidang-bidang penanganan yang
menjadi fokus, dengan masukan pihak yang kompeten. Setelah itu, pemerintah
memfasilitasi, mendukung, dan memberi penghargaan pada kalangan bisnis yang mau
terlibat dalam upaya besar ini. Pemerintah juga dapat mengawasi proses
interaksi antara pelaku bisnis dan kelompok-kelompok lain agar terjadi proses
interaksi yang lebih adil dan menghindarkan proses manipulasi atau pengancaman
satu pihak terhadap yang lain.
Sumber : Buku Pengantar
Etika Bisnis
Pengarang : Prof. Dr. Kees
Bertens
Tidak ada komentar:
Posting Komentar